Saturday, November 29, 2008

Malaria : Kekebalan

Kekebalan pada malaria merupakan suatu keadaan kebal terhadap infeksi dan berhubungan dengan proses-proses penghancuran parasit atau terbatasnya pertumbuhan dan perkembangbiakan. Pada malaria mungkin terdapat kekebalan bawaan (alam) dan kekebalan didapat.

Kekebalan bawaan pada malaria merupakan suatu sifat genetik yang sudah ada pada hospes, tidak berhubungan dengan infeksi sebelumnya, misalnya : manusia tidak dapat diinfeksi oleh parasit malaria pada burung atau binatang pengerat; orang Negro di Afrika Barat relatif kebal terhadap P.vivax oleh karena mempunyai golongan darah Duffy (-), mungkin Duffy (+) merupakan reseptor untuk P. Vivax; orang yang mengandung Hb S heterozigot lebih kebal terhadap infeksi P. falciparum oleh karena pada tekanan O2 yang lebih rendah dalam kapiler alat-alat dalam Hb S dapat mengubah bentuk eritrosit (bentuk sabit) dan parasitnya tidak dapat hidup serta mudah difagositosis. Demikian pula pada orang dengan beta-thalassemia dan hemoglobin fetal yang menetap (Hb F); definisi G-6-PD pada eritrosit dapat melindungi organ terhadapinfeksi berat P. falciparum.

Tuesday, November 4, 2008

Malaria and biosafety

Pengambilan darah untuk diagnosis malaria mempunyai resiko. Virus hepatitis B, virus HIV dan kuman patogen lainnya dapat ditularkan dengan pengunaan lanset (alat tusuk untuk pengambilan darah), jarum semprit dan dan alat-alat lain yang tidak dibersihkan atau disterilisasi dengan sempurna.

Bila harus dilakukan pemeriksaan darah, seharusnya digunakan lanset atau jarum yang sekali pakai (disposable) atau alat yang telah disterilkan secara seksama. Sediaan darah seyogyanya ditangani menurut pedoman standar mengenai biosafety.

Monday, November 3, 2008

Malaria : Diagnosis

Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop. Peranan diagnosis laboratorium terutama untuk menunjang penanganan klinis.

Manfaat penunjang laboratorium adalah :
  • Untuk diagnosis kasus pada kegagalan obat.
  • Untuk penyakit berat dengan komplikasi.
  • Untuk mendeteksi penyakit tanpa penyulit di daerah yang tidak stabil atau daerah dengan transmsi rendah dan penting untuk daerah yang ada infeksi P.falciparum dan P.vivax secara bersamaan, sebab pengobatan keduanya berbeda.
Tekhnik diagnosis :
Mikroskop cahaya. Sediaan darah dengan pulasan Giemsa adalah merupakan dasar dari pemeriksaan dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan sediaan darah tebal dilakukan dengan memeriksa 100 lapangan mikroskopis dengan pembesaran 500-600 kali yang setara dengan 0,20 µL darah. Jumlah parasit dapat dihitung per lapangan mikroskopis.

Metode semi kuantitaf untuk hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah tebal adalah sebagai berikut :

+ = 1 – 10 parasit per 100 lapangan
++ = 11 – 100 parasit per 100 lapangan
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan
++++ = >10 parasit per 1 lapangan
+++++ = >100 parasit per 1 lapangan, setara dengan 40.000 parasit / µL

Hitung parasit dapat juga dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit dalam sediaan darah tebal dan jumlah leukosit rata-rata 8000 / µL darah, sehingga densitas parasit dapat dihitung sebagai berikut :
Parasit / µL darah = (Jumlah parasit yang dihitung × 8000)/(jumlah leukosit yang dihitung (200))

Sayang sekali bahwa diagnosis mikroskopis secara rutin kadang-kadang kurang bermutu atau tidak dapat dilakukan pada sistem pelayanan kesehatan di daerah perifer. Walaupun teknolginya sederhana dan biayanya relatif murah, diagnosis mikroskopis ini tetap memerlukan infrastruktur yang memadai untuk pengadaan dan pemeliharaannya, serta untuk melatih tenaga mikroskopik dan mempertahankan mutu.

Tekhnik mikroskopis lain.
Berbagai jenis upaya telah dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas teknik mikroskopis yang konvensional, diantaranya :

Teknik QBC (Quantitavie Buffy Coat) dengan pulasan jingga akridin (acridine orange) yang berfluoresensi dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan salah satu hasil usaha ini, tetapi masih belum dapat digunakan secara luas seperti pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan Giemsa menggunakan mikroskop cahaya biasa.

Teknik Kawamoto merupakan modifikasi teknik pulasan jingga akridin yang memulas sediaan darah bukan dengan giemsa tetapi dengan akridin dan diperiksa dengan mikroskop cahaya yang diberi lampu halogen.

Metode lain tanpa mikroskop.
Beberapa metode untukmendeteksi parasit malaria tanpa mengguankan mikroskop telah dikembangkan denan maksud untuk mndeteksi parasit lebih baik daripada dengan mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein atau asam nukleat yang berasal dari parasit.

Teknik dip-stick mendeteksi secara imuno-enzimatik suatu protein kaya histidine II yang spesifik parasit (immuno enzymatic detection of the parasite spesific histidine rich protein II). Tes spesifik untuk plasmodium falciparum telah dicoba pada beberapa negara, antara lain di Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukand alam waktu 10 menit dan dapat dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikti latihan. Alatnya sederhana, kecil dan tidak memerlukanaliran listrik.


Kelemahan tes dip-stick ini adalah :
  • Hanya spesifik untuk plasmodium falciparum (untuk plasmodium vivax masih dalam tahap pengembangan)
  • Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
  • Antigen yang masih beredar beberapa hari setelah parasit hilang masih memberikan reaksi positif.
  • Gametosit muda (immature) bukan yang matang (mature), mungkin masih dapat dideteksi.
  • Biaya tes ini cukup mahal.
Walaupun demikian tes yang sederhana dan stabil dapat digunakan untuk pemeriksaan epidemiologi dan operasional. Hasil positif palsu (false positive) yang disebabkan oleh antigen residual yang beredar dan oleh gametosit muda dalam darah biasanya ditemukan pada penderita tanpa gejala (asimptomatik). Jadi seharusnya tidak mengakibatkan over treatment sebab tes ini digunakan untuk menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan gejala.

Metode yang berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan PCR (polymerase chain reaction). Akhir-akhir ini beberapa pelacak (probe) DNA dan RNA yang spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keempat spesies Plasmodium, tetapi terutama untuk plasmodium falciparum, tes ini sangat spesifik dan sensitif, dapat mendeteksi hingga minimal 2 parasit, bahkan 1 parasit / µL darah. Penggunaan pelacak tanpa label radioaktif (non radioactivelabelled probe) meskipun kurang sensitif dibandingkan dengan yang menggunakan bahan label radioaktif, mempunyai shelf-life lebih panjang dan lebih mudah disimpan dan diolah.


Kelemahan tes ini adalah :

  • Penyediaan DNA dan RNA sangat rumit
  • Alat yang diperlukan untuk hibridisasi rumit
  • Alat untuk amplifikasi PCR dan deteksi hasil amplifikasi sangat canggih dan mahal
  • Metode ini membutuhkan waktu lebih lama (>24 jam)
  • Tidak dapat membedakan stadium aseksual dan seksual
  • Tidak dapat dilakukan pemeriksaan secara kuantitatif
Sementara keuntungan utama pada teknik PCR adalah dapat mendeteksi dan mengidentifikasi infeksi ringan dengan sangat tepat dan dapat dipercaya. Hal ini penting untuk studi epidemiolgi dan eksperimental, tetapi tidak penting untuk meningkatkan penanganan malaria tanpa komplikasi.

Sunday, November 2, 2008

Malaria : Patofisiologi

Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka yang dapat tetap hidup (survive). Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan reaski leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik.

Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.

b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.

c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.

Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.

Saturday, November 1, 2008

Patologi dan Gejala Klinis

Perjalanan penyakit malaria terdiri atas serangan demam yang disertai oleh gejala lain dan diselingi oleh periode bebas penyakit. Ciri khas demam malaria adalah periodisitasnya.

Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam badan hospes sampai timbulnya gejala demam, biasanya berlangsung antara 8-37 hari, tergantung pada spesies parasit (terpendek untuk p. falciparum dan terpanjang untuk p.malariae), pada beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes.

Masa Pre-paten, berlangsung sejak saat infeksi sampai ditemukan parasit malaria dalam darah untuk pertama kali, karena jumlah parasit telah melewati ambang mikroskopik (microscopic treshold).

Masa tunas ekstrinsik
parasit malaria yang ditularkan melalui nyamuk kepada manusia adalah 12 hari untuk plasmodium falciparum, 13-17 hari untuk plasmodium ovale dan vivax, dan 28-30 hari untuk plasmodium malariae (malaria kuartana).

Demam. Pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnhya merozoit yang masuk dalam aliran darah (sporulasi). Pada malaria vivaks dan ovale (tersiana) skizon setiap brood (kelompok) menjadi matang setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersian, pada malaria kuartana yang disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam sehingga demamnya bersifat kuartan. Masa tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya serangan pertama (first attack). Tiap serangan terdiri atas beberapa serangan demam yang timbulnya secara periodik, bersamaan dengan sporulasi (sinkron). Timbulnya demam juga bergantung pada jumlah parasit (cryogenic level, fever treshold). Berat infeksi pada seseorang ditentukan dengan hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah. Demam biasanya bersifat intermitten (febris intermitten), dapat juga remitten (febris remitens) atau terus menerus (febris continua).

Serangan demam malaria biasanya dumulai dengan gejala prodromal yaitu lesu, sakit kepala, tidak nafsu makan, kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.

Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :
a. Stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil. Penderita menutupi badannya dengan baju tebal dan dengan selimut. Nadinay cepat, tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya menjadi biru, kulitnya kering dan pucat. Kadang-kadang disertai dengan muntah. Pada anak sering disertai kejang-kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
b. Stadium puncak demam dimulai pada saat perasaan dingin sekali perlahan berganti menjadi panas sekali. Muka menjadi merahm kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, skit kepala makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut makin keras. Perasaan haus sekali pada saat suhu naik sampai 41°C (106°F) atau lebih. Stadium ini berlangsung selama 2-6 jam.
c. Stadium berkeringat dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat tidurnya basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.

Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia. Lamanya serangan demam ini untuk setiap spesies malaria tidak sama.

Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebtu relaps. Relaps dapat bersifat :
a. Rekrudesensi (atau relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan pertama hilang.
b. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah seranagn pertama hilang.

Bila serangan malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps, maka keadaan ini disebut periode laten klinis, walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain seperti splenomegali. Periode laten parasit terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.

Serangan demam makin lama akan berkurang beratnya karena tubuh telah menyesuaikan diri dengan adanya parasit dalam badan dan karena respon imun hospes.

Splenomegali. Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria yang menahun. Perubahan limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam, karena pigmen yang ditimbun dalam eritsosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritsoit yang tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa. Hiperplasia, sinu smelebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah tebal, sehingga limpa menjadi keras.

Anemia. Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak.

Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.

Popular Posts